Wednesday, December 05, 2007
Baru saja bbrp hari yl posting ttg kesetiaan, ternyata kemarin pas aku mlaku2/baca2 di kolom kompas online, tepatnya di kolom fans beratku...si Samuel Mulia, daku menemukan artikel yg uapikk soro, terkait jg dengan kesetiaan. Artikel ini berjudul renovasi, yg nanti bisa dibaca di bawah ini. Ngga nanggung2 tulisan si Sam ini, sampe mengibaratkan orang yg tidak setia itu dengan seekor kodok.

So, Siapa yang mau jadi 'kodok' ? atau Siapa yang udah jadi 'kodok'. hhehehehe, mudah2an yg belum jadi kodok, tidak bakal jadi kodok benearan, yg sudah terlanjur jadi kodok...segera ambil jurus insaf..kembali menjelma jadi manusia.
ok..sorry mas Sam tulisannya aku posting di blogku, dan thanks banget atas tulisan anda yg benar2 menyengat.

Renovasi
Senin 26 November 2007 9:32 wib

Oleh: Samuel Mulia Penulis Mode dan Gaya Hidup

Hari masih pagi. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Buat saya itu masih pagi, tetapi buat
teman saya yang seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak, itu sudah terlalu siang. Pada jam
yang sama, ia sudah di dalam mobilnya mengantar ketiga buah hatinya ke sekolah. Bahkan
mungkin ia sudah terbangun jauh sebelum jam setengah tujuh kalau mendapat "serangan fajar"
dari suami tercinta.

Sambil bersantai di tempat tidur, saya memerhatikan barang-barang bertumpuk di hadapan saya yang memenuhi ruang tidur itu. Semua barang-barang itu terpaksa dipindahkan ke ruang tidur karena ruang tamu sedang direnovasi. Itulah kalau apartemen hanya seperti sangkar burung. Melihat barang-barang bertumpuk itu, saya jadi geleng kepala. Untuk pertama kalinya saya diperlihatkan, betapa barang-barang itu banyak yang saya beli dan tak berguna sama sekali. Tetapi, yaa… begitulah saya ini. Yang tak berguna acapkali lebih memikat mata. Sama seperti mengecap makanan. Yang tak sehat itu acapkali nikmat di lidah, dan sebaliknya, yang sehat jauh dari nikmat.

Benang kusut
Mengapa saya merenovasi tempat tinggal? Karena setelah sekian tahun tak pernah memerhatikan dengan saksama, maka beberapa minggu lalu kamar mandi mulai mengalami kebocoran. Awalnya hanya menetes, kemudian makin deras tetesannya. Saya pikir hanya satu bagian yang bocor, ternyata ada bagian lain yang bocor yang tak kelihatan.

Plafon di ruang tamu mulai melengkung, plafon di kamar tidur mulai bebercak. Lantai di dapur
super kecil ada yang pecah. Maka, saya memutuskan untuk melakukan perombakan. Itu karena saya jarang memberi perhatian sehingga kerusakan kecil lama-lama menjadi bukit.
Masalahnya kemudian, anggaran juga menjadi membengkak. Coba kalau sejak lama saya mau
mempunyai waktu untuk memerhatikan kerusakan kecil itu, mungkin saya tak perlu harus tidur dengan tumpukan buku, dua sofa, serta lampu duduk yang berjumlah empat buah di kamar tidur, dan uang tak diperlukan sebanyak sekarang ini untuk membongkar kerusakan yang berat itu.

Maka, saya mulai berkaca pada hari yang menurut saya masih pagi itu. Ternyata, saya tak ada
bedanya dari kerusakan di apartemen itu. Ketika pada awal setelah mengalami operasi
pencangkokan ginjal, saya rajin dan mendisiplinkan diri. Dari makan teratur sampai tidur teratur. Sekarang, ketika saya merasa bertambah fit, makan tetap diatur dan tidur juga tetap diatur. Diatur pelanggarannya, maksud saya. Dan kerusakan kecil yang tak saya perhatikan sekarang makin menjalar ke mana-mana. Saya diperingati dokter harus check-up setiap tiga bulan sekali, kenyataannya tidak demikian adanya. Dahulu rajin, sekarang juga masih rajin. Rajin tak pernah datang check-up.

Awalnya, saya hendak pindah ke apartemen lain yang lebih bagus, yang lebih baru, dibandingkanmerenovasi. Saya malas merenovasi. Membenahi yang rusak itu tak hanya ribet, tetapi menjengkelkan. Sama seperti seorang teman yang mendapat tugas membenahi benang kusut perusahaan gara-gara pemiliknya yang seperti saya itu. Seenaknya saja dan tak pernah peduli dengan kerusakan-kerusakan kecil yang terjadi. "Tahu kayak gini mending gue cari kerjaan baru," katanya.

Seperti kodok
Itu juga saya. Senangnya mencari yang baru. Dahulu, saya senangnya masuk-keluar rumah ibadah yang baru. Teman saya mempromosikan rumah ibadahnya yang paling oke. Teman yang lain tak mau kalah. Maka, saya yang senangnya melihat di permukaan saja berubah menjadi kodok.
Kebetulan rumah ibadah saya memang tak segemerlap dan segemuruh rumah ibadah di tempat
teman-teman saya itu. Jadi, saya menjadi tidak setia. Meloncat ke sana dan kemari.
Meloncat ke sana kemari itu juga terjadi dalam urusan pekerjaan. Selalu saja kalau sudah ribet di kantor, tak cocok dengan sistemnya dan para pemimpin, maka saya secepat kilat mulai lirik kanan dan kiri untuk cepat-cepat lari dari keribetan itu. Dengan mulai lirak-lirik, saya makin tak berkonsentrasi dengan pekerjaan itu. Dan benangnya semakin kusut.

Hubungan saya dengan orangtua, teman, dan pacar juga demikian. Acapkali saya berkata dalam
hati, kalau saja orangtua saya seperti orangtua teman saya. Saya kemudian memperbandingkan. Saya suka dengan pacar saya, tetapi ketika ada yang "menyeberang" di depan saya, saya mulai terpikat.
Kemudian saya mengatakan dalam hati, dia kok lebih cihui dari pacar saya. Kok dia gitu…
sementara pacar saya tidak. Kok dia ginu, pacar saya kok enggak ginu. Kemudian saya mulai
mencoba icip-icip. Saya mengurangi kesetiaan saya.

Pada pukul delapan pagi, saya mendapat pencerahan. Saya merasa keputusan saya merenovasi
apartemen sebuah tindakan tepat daripada saya pindah ke apartemen baru. Masalahnya bukan
soal pindahnya, tetapi saya harus setia. Tak bisa dengan mudah setiap kali ada keribetan saya
loncat seperti kodok.
Kalau saya merasa rumah saya perlu dibenahi, yaaaa... dibenahi, dan tidak dengan cepat
mengambil jalan pintas untuk pindah. Saya harus membuat tempat tinggal saya indah dan bukan pindah. Kalau rumput tetangga lebih hijau, itu tugas saya untuk melebihi kehijauan rumput tetangga. Bukan berangan-angan loncat seperti kodok ke tetangga.

Saya tak perlu pindah rumah ibadah karena di tempat lain lampunya lebih gemerlap, tetapi saya harus tinggal di rumah ibadah yang saya anggap tak gemerlap itu untuk menjadikannya gemerlap. Itu tugas saya.

Tugas saya bukan jadi kodok, saya yang harus setia. Dan itu harus dimulai dari saya sendiri. Bukan mengandalkan orang lain. Demikian juga hubungan saya dengan manusia lain. Kalau saya tak memiliki hubungan yang baik, bukan dengan cara saya menjadi kodok meninggalkan mereka dan mencari hubungan baru yang belum kusut, terutama dengan pasangan hidup saya.

Kalau hubungan saya tak semarak di tempat lain, itu bukan waktunya pindah ke kesemarakan di tempat lain, tetapi seharusnya saya berusaha merenovasi hubungan saya agar bisa semarak.
Meski semuanya itu berisiko. Seperti saya, terpaksa harus tidur bersama sofa, buku, lampu, dan…debu.

KILAS PARODI: Mungkin Begini Caranya supaya Jangan Jadi Kodok

1. Mengapa saya ini sering kali jadi kodok karena saya tak pernah menyediakan waktu untuk
melihat kembali apa yang pernah saya perbuat dan terutama perbuatan yang gagal. Saya tak mau melihat ke belakang karena saya trauma dengan kegagalan itu. Nah, karena takut trauma, saya menjadi tak peduli dan membiarkan kekusutan itu tetap terjadi. Kalau tiba waktunya untuk merenovasi kekusutan itu, saya melarikan diri dengan menjadi kodok.
Sekarang, mau tak mau saya harus mau melihat ke belakang, mengevaluasi diri, dan melangkah
ke depan tanpa membawa kegagalan masa lalu. Susah? Susah. Tetapi, apa boleh buat. Kalau saya mau naik kelas, yaaaa… saya yang mesti belajar. Bisa saja saya menyontek, tetapi risikonya terlalu besar, and I’m not a risk taker.

2. Saya senang meloncat. Meloncat itu perlu, tetapi yang harus saya lakukan adalah meloncat yang memberi kesempatan saya naik kelas, bukan meloncat kemudian masuk jurang. Dan meloncat agar tak masuk jurang juga bukan untuk saya semata, tetapi untuk orang di sekitar hidup saya.

Dahulu saya adalah teman yang tidak benar. Ketika saya berselingkuh, saya menikmatinya, dan
ketika ada seorang teman yang punya problem sama, saya mengatakan itu tak apa-apa, yang
penting hati bahagia. Tentu saya makin meloncatkan teman saya ke dalam jurang dan membuat ia yakin apa yang dia lakukan memang benar.

Jadi, jangan pernah mengajak orang lain meloncat ke dalam jurang yang Anda gali. Kalau Anda
mau korupsi, Anda saja yang korupsi, jangan menjerat orang dengan berkata, "Saudaraku, Anda
memerlukan uang lebih untuk memberi pengobatan pada anak Anda yang sakit."

3. Belajarlah dengan rajin untuk menjadi orang setia dan jangan belajar dengan rajin menjadi
orang yang sukanya meloncat. Jangan mengganggu pikiran Anda sendiri dengan berangan-angan menjadi kodok. Justru berangan-anganlah menjadi setia. Make your dream comes true.

4. Saya ingatkan, bila Anda senangnya jadi kodok, meloncat setiap saat, maka pada setiap saat itu Anda harus mulai dari nol. Untuk setiap tindakan selalu saja ada risikonya. Saya meloncat, menit pertama enak, kemudian ketika saya butuh sesuatu, saya bertemu dengan orang baru, saya harus mulai lagi dari nol untuk berkenalan sebelum saya mendapat yang saya mau. Dan saya malas mulai dari nol, saya hanya senang meloncatnya. Maka, saya meloncat lagi menghindari nol. Pada akhirnya yang kodok itu benar-benar saya. ****


 
posted by fanvin at 10:37 AM |


5 Comments:


At 12:48 PM, Blogger april

tulisan samuel emang menyengat kyk tawon yo hehehekalo aku suka baca yg di kompas minggu. iya aku gak mau jd kodok....dah capek lompat2 eh tetep gak bisa tinggi :D

 

At 3:26 PM, Anonymous Anonymous

wkwkwkwkw... setubuh Ly eh setuju. Jangan sampe deh jadi kodok, capek loncat loncat terus yg ada ntar nyungsep ke got. :D

 

At 10:36 AM, Blogger Patty

Wahh bagus juga nih tulisannya. Gua gag langganan kompas jd gag tau euy.

Btw drpd jd kodok mending kita makan kodok aja yukkk..

 

At 11:18 AM, Blogger fanvin

April : lho bukannya elo dah mayan tinggi pril :) ? ntar kalo ketinggian malah repot :P
Dewi : palagi skrg lagi musim banjir yoo..hhiihhih
Patty : idem patt, gua jg ga langganan kompas, baca kompas online..yg gratisan itu...

 

At 1:51 PM, Anonymous Anonymous

artikelnya bagus banged. kadang qta gampang mbacanya prakteknya yg susah ;p